Menjadi Narablog Sebagai Cara Menebus Rasa Bersalah

Dunia menulis sebenarnya jauh hari sudah menjadi bagian hidup saya. Bisa dibilang tiada hari tanpa menulis. Maklum saja sebagai mahasiswa program jurnalistik, saya memang aktif berkegiatan di penerbitan kampus dimana saya menempuh studi. Hingga waktu bagi saya adalah identik dengan menulis dan meliput acara, baik acara mahasiswa ataupun acara rektorat.

Biasanya usai jam kuliah, saya menuju ke suatu ruangan yang menjadi bagian dari gedung rektorat. Berkumpul dengan mahasiswa fakultas lain yang mempunyai kesamaan minat di bidang menulis. Berbincang tentang isu apa yang tengah hangat untuk dijadikan liputan khusus. Jaman itu belum ada istilah viral seperti jaman now. Saya memang produk jaman old, mahasiswa yang eksis menulis di tahun 90-an.

Saya merasa beruntung kuliah di perguruan tinggi negeri yang notabene memperhatikan fasilitas dan minat mahasiswanya. Sebagai mahasiswa perantau, saya terus terang merasa terbantu oleh pihak kampus. Kegiatan menulis dan aktif mengelola penerbitan milik humas kampus ini didanai oleh rektorat. Jadi secara tidak langsung, fee atau honor menulis serta ” gaji” bulanan saya peroleh juga. Alhamdulillah, bisa untuk bertahan hidup di tanah rantau. Hehe…

PK Identitas Unhas (dok. Identitas UH)

Tidak itu saja, biasanya banyak acara yang digelar oleh fakultas seperti seminar atau kajian ilmu. Saat meliput itulah saya seakan mendapat angin surga. Kok bisa? Ya jelas karena saat peliputan berbagai fasilitas saya dapatkan. Diantaranya dapat ilmu, dikenal rektor dan pejabat rektorat seperti PR 1,2 atau 3 serta dekan semua fakultas juga banyak teman.

Untuk menambah uang saku saya sering menulis di media lokal. Beberapa kali juga dimuat di media nasional saat itu. Kemudian selesai KKN, saya diperbantukan di humas kantor gubernur untuk mengelola koran mingguan. Bersyukur sekali jauh dari orang tua dengan kiriman uang pas-pasan, saya bisa menghasilan uang dari menulis.

Kliping tulisan  (dok.pri)

Itu cerita masa lalu saya sebagai mahasiswa program jurnalistik. Oya kala itu, setiap ujian saya selalu dapat dispensasi karena seringnya ikut liputan ke luar daerah. Dosen sangat memahami posisi saya dan baik hati semua. Pokoknya beruntunglah dan bersyukur bisa aktif di media meski skala kecil. Lantas apakah ilmu jurnalistik dan pengalaman meliput menjadikan saya seorang pewarta setelah diwisuda?

Usai Wisuda Balik ke Kampung, Menjauhkan Saya Dari Dunia Menulis

Sebenarnya saat wisuda saya masih bekerja di media kantor pemerintah. Namun atas desakan orang tua — sebagai anak perempuan — ketika orang tua meminta saya untuk pulang ke kota asal, saya tak bisa menolak. Menurut ortu boleh kerja dimanapun, asal di Jawa. Dengan berat hati, saya menyetujui permintaan beliau. Sebenarnya sih  sayang banget meninggalkan kota tempat saya kuliah, karena banyak peluang untuk bekerja yang sesuai dengan minat dan disiplin ilmu saya.

Pulang ke kota sendiri adalah pilihan yang tepat untuk menghindari konflik dengan ortu. Akhirnya  selang sebulan,  saya diterima  bekerja di sebuah perusahaan Jepang yang berkantor disekitar Jalan Thamrin Jakarta. Begitu sibuk dengan pekerjaan, pagi pergi pulang malam membuat saya tak sempat untuk menulis. Dan benarlah, waktu saya habis untuk mengukur jalanan di Jakarta. Saya sadar sudah menjadi bagian kemacetan Jakarta saat itu. Duh..

Waktu terus berjalan. Pelan namun pasti, keinginan saya terkikis dan “melupakan” dunia menulis. Sampai pada suatu saat terjadi peristiwa dahsyat di negeri ini. Demonstrasi besar-besaran menuntut tumbangnya orde baru dengan mengusung isu reformasi. Dimana-mana terjadi kekacauan dan suasana tidak kondusif. Kembali karena rasa sayang, orang tua meminta saya untuk pulang ke kota asal. Alasannya karena ibukota saat itu genting. Saya adalah salah satu saksi yang benar-benar melihat bagaimana Jakarta waktu itu membara.

Saya pun mengurus surat resign dan segera pulang ke rumah. Ibu dan ayah bahagia dan memohon saya untuk tidak bekerja jauh dari mereka. Ya sudah sebagai anak yang patuh, saya pun mengikuti keinginan orang yang saya sayangi. Saat itu usia saya menginjak 28 tahun dan masih jomblo! Sedikit flashback, jaman kuliah dulu saya tak punya waktu untuk berpacaran. Habis waktu untuk meliput dan mengejar deadline. Jadi wajar juga saat umur diambang kepala tiga, saya belum menikah.

Dan saya yakin rejeki itu sudah diatur sama Allah. Berada di rumah empat bulan, ternyata saya malah menemukan tambatan hati. Benar-benar kuasa Illahi tak dapat ditolak. Tentu saja saya bahagia. Malah setelah menikah saya bekerja di perusahaan Amerika. Di perusahaan ini karierku lumayan meningkat hingga dapat reward dari perusahaan. Alhamdulillah.

Sayangnya tiga tahun kemudian perusahaan itu ditutup karena ada suatu kebijakan pemerintah. Saya sebagai karyawan hanya bisa menerima kenyataan bahwa kantor tak beroperasi. Dan  lagi-lagi rejeki menghampiri. Ada keyakinan ini mungkin berkat doa kedua orang tua yang menginginkan saya bekerja dan hidup tak jauh dari mereka. Hingga rejeki selalu mengalir untuk kami.

Reward ke Thailand  (dok.pri)

Bersyukur sekali saya dipercaya kantor pusat untuk menjadi Dealer Utama sebuah produk fashion dengan beberapa kota sebagai area kerja. Begitu serius saya mengerjakan tugas yang diemban, hingga omset menjulang dan target penjualanpun terpenuhi. Reward bertubi-tubi berupa jalan-jalan ke dalam negeri sampai luar negeripun saya terima. Alhasil, dunia menulispun semakin tak terjangkau lagi. Dikepala hanya ada target, target dan target. Kerja seperti tak kenal waktu hingga betu-betul melupakan duniaku ketika kuliah dulu.

Dua Belas Tahun Kemudian…

Perkembangan dunia teknologi yang masuk ke Indonesia beberapa tahun belakangan ini sangat pesat. Terutama di bidang teknologi informasi yang merambah hingga ke masyarakat luas. Seperti contoh adanya handphone yang ketika di akhir tahun 90-an masih merupakan barang mahal, sekarang bukan lagi milik orang-orang kaya. Semua kalangan memiliki bahkan hingga dua sampai tiga handphone.

Saat keluar smartphone android yang menggunakan sistem operasi berbasis linux sebagai telepon pintar, masyarakatpun berbondong-bondong untuk memiliki. Begitu juga mitra kerja saya yang berjumlah hampir 2000 orang. Dunia seakan ada digenggaman termasuk dunia bisnis dengan sekali sentuh pada layar smartphone. Info apapun berbasis internet bisa diakses oleh orang yang sebelumnya tak paham dengan prosedur bisnis.

Akhirnya muncul bisnis online dengan akses menembus langsung ke suplier itu berdampak besar pada tempat saya bekerja. Omset turun drastis. Tak bisa dicegah lagi, agen saya satu per satu berpaling. Jadilah awal tahun lalu saya resign dari perusahaan yang selama 12 tahun memberi warna dalam hidup saya dan keluarga.

Menjadi Blogger, Membayar Rasa Bersalah

Beberapa waktu setelah resign, saya mulai menata hati dengan merenung. Segala pencapaian dan usaha keras sekian tahun seperti tak ada artinya. Semua seperti tergulung oleh waktu dan tentu saja menyisa rasa sedih. Tapi bukan saya namanya kalau tak lama bersemangat lagi. Mengisi kembali hari-hari dengan banyak membaca menumbuhkan keinginan untuk menulis lagi. Senang rasanya masih ada asa untuk menggali minat lama.

Ya Allah mungkin ini jawaban yang Kau beri atas segala doa yang saya panjatkan. Sejak itu saya rajin browsing mencari teman yang seminat. Alhamdulillah jalan itu ditunjukkan oleh Allah melalui teman-teman yang mengajak untuk aktif menulis lagi. Tapi di awal menulis setelah 20 tahun tak menjamahnya, sangat berat dan sulit. Jangankan menulis artikel, memulai dari mana saja seperti tak berujung. Berkat bantuan teman-teman di Kota Malang, menulis adalah bukan hal yang mustahil.

Beberapa tips saya menggali diri kembali untuk menulis :

1. Banyak Membaca

Dengan membaca memancing munculnya kosa kata untuk memperkaya kalimat. Bacaan apapun selagi isinya bermanfaat akan saya lalap habis. Sehingga otak yang tadinya terisi target, target dan target berubah menjadi kalimat-kalimat yang informatif.

Membaca Buku (dok.pri)

2. Belajar Menulis (Lagi)

Mengikuti beberapa training penulisan online yang banyak ditawarkan di grup-grup FB atau WA. Dengan begitu menggugah semangat untuk lebih optimis dalam belajar. Ini penting mengingat selama dua puluh tahun saya “melupakan” dunia menulis.

3. Berkomunitas

Menjalin hubungan dengan sesama penulis dalam suatu wadah untuk membangkitkan rasa percaya diri pastinya butuh partner kan? Nah di komunitas tersebut saya mendapat banyak info dan ilmu terkait apapun tentang dunia menulis dari teman-teman penulis.

Bersama blogger (dok.pri)

4. Jadi Blogger

Kalau jaman old orang yang suka menulis ya disebut penulis . Seiring berkembangnya jaman, penulis sekarang banyak yang menuangkan idenya di sebuah blog. Sehingga penulis sekarang identik dengan sebutan blogger.

Sejak Maret 2018 saya bergabung di beberapa komunitas seperti Bolang (Blogger Kompasiana Malang), Emak Blogger, BloggerCrony, Blogger Perempuan Network juga Juragan Artikel, baik grup online atau grup Whastapp. Alhamdulillah bersama teman-teman semangat menulis saya jadi menggebu-gebu.

Dengan pede (percaya diri)  saya tak sungkan untuk memperkenalkan diri sebagai blogger atau biasa juga disebut sebagai narablog. Di tahun yang sama tepatnya dibulan Agustus, saya betul-betul aktif menulis di blog pribadi yang berbayar. Sebenarnya bulan Maret, tapi baru betul-betul menjadi ajang nulis saya di Agustus.

Pencapaian Tahun 2018 dan Resolusi Tahun 2019

Semangat bila terlahir dari dalam diri, ditambah dari faktor ekstern (sesama blogger) memang dahsyat hasilnya. Begitupun semangat saya jadi luar biasa dan cetar. Terus terang saya bangga, terlepas dari rasa sombong ya. Tepat akhir tahun 2018 mengecek pencapaian dalam membuat tulisan, ya Allah saya menganga sendiri. Ada 110 artikel yang kutulis dari Maret hingga Desember 2018. Sebanyak 74 artikel ada di kompasiana dan 36 ada di blog pribadi.

Akun Kompasiana saya (dok.pri)

Saya mengira tulisan sebanyak itu adalah hasil dari rasa bersalah saya selama 20 tahun meninggalkan dunia menulis. Halooo…20 tahun saya ngapain aja? Rasanya saya ingin menangis dan terharu pada diri sendiri. Rasa bersalah saya kubayar tuntas lewat tulisan dan predikat baru saya sebagai BLOGGER. Saya bahagia. Plong hati saya.

Rasa syukur tidak berhenti di pencapaian 2018. Pada tahun ini harapan atau resolusi saya ingin lebih konsisten menulis seperti blogger lainnya. Berjuang dalam memberi informasi di blog serta menyandarkan harapan pada tulisan-tulisan saya agar lebih bernas. Jangan lelah belajar adalah kata yang tepat untuk saya, seorang blogger pemula.

Artikel ini diikutkan untuk Kompetisi Blog Nodi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *